My World of Bonsai

Wednesday, October 17, 2007

Catatan Pribadi ASPAC '07 - Bali

Sejak munculnya kepastian pameran bonsai se-Asia Pasifik tahun 2007 berlangsung di Bali (1-4 September 2007), greget para penggemar bonsai Indonesia langsung memuncak. Ada 3 hal spesifik yang ingin diketahui oleh kebanyakan penggemar bonsai Indonesia pada saat event ini berlangsung. Pertama, penggemar bonsai Indonesia ingin melihat secara langsung bonsai-bonsai buatan orang luar Indonesia. Kedua, penggemar bonsai Indonesia ingin melihat hasil penilaian para juri dari luar negeri terhadap bonsai-bonsai yang ditampilkan dalam pameran. Ketiga, penggemar bonsai Indonesia ingin melihat secara langsung demonstrator dari luar negeri memproses bonsai langsung di depan mata mereka.

Pada saat PPBI Sidoarjo mengadakan workshop pada tanggal 11 Agustus 2007 (sebelum ASPAC), saya menyatakan bahwa acara di Bali tersebut yang benar-benar skala Asia Pasifik hanyalah konvensinya, dimana pada konvensi tersebut antara lain dibuat keputusan dimana ASPAC berikutnya (2009) akan diselenggarakan. Untuk pameran bonsainya, dapat saya pastikan bahwa pameran itu sebenarnya pameran skala nasional tetapi dinilai oleh banyak juri dari luar negeri. Kenyataannya di ASPAC Bali memang demikian. Semua bonsai yang tampil adalah bonsai Indonesia. Hal ini bisa dimaklumi karena penggemar bonsai luar negeri akan mengalami kesulitan membawa pulang bonsainya kembali ke negaranya, karena prosedur karantina di negaranya yang rata-rata memang rumit.

Jadinya, banyak penggemar bonsai Indonesia yang merasa kecewa melihat seluruh pohon yang tampil di pameran tersebut adalah milik penggemar bonsai dari Indonesia. Kekecewaan mereka itu muncul karena mereka memang tidak memperhitungan rumitnya prosedur karantina tadi. Ya, overestimate mereka pantas dibayar oleh kekecewaan itu.

Kekecewaan karena tidak melihat bonsai koleksi orang luar itu sebenarnya bisa tertebus dengan hasil penilaian di pameran, yang dilakukan 8 juri yang semuanya dari luar negeri. Sayangnya hasil penilaian 8 juri luar negeri itu tidak dijaga kemurniannya oleh beberapa oknum panitia. Segelintir oknum panitia (seluruh panitia berasal dari Indonesia) berusaha menambah dan mengubah keputusan 8 juri luar itu. Ada 1 oknum panitia yang menyatakan perubahan penilaian itu dilakukan oleh para juri itu sendiri lewat rapat juri. Padahal informasi yang saya dapat, pada saat perubahan itu dilakukan, ada 1 juri yang sudah pulang dan ada 1 juri yang menyatakan tidak ada rapat juri seperti yang dinyatakan oleh oknum tadi.n Jika informasi yang saya dapat itu benar, berarti oknum panitia tadi sudah melakukan pembohongan publik. Akibat dari perubahan penilaian yang dilakukan oleh pihak panitia timbullah protes dari para pemilik bonsai. Bagaimanakah kualitas penilaian para juri luar itu sebenarnya?.

Menurut kacamata saya, penilaian para juri tersebut sebenarnya cukup memuaskan meskipun ada beberapa yang perlu dipertanyakan dan didiskusikan. Sebagai contoh ada bonsai cemara udang yang dapat bendera. Di kanan yang dapat bendera tadi, juga ada bonsai cemara udang yang tidak dapat bendera. Banyak orang yang menyatakan bahwa bonsai cemara udang yang tidak dapat bendera tadi jauh lebih bagus daripada cemara udang yang dapat bendera. Saya setuju dengan pendapat banyak orang itu. Tetapi penilaian soal bonsai bukanlah penilaian yang bersifat eksak (pasti), jadi wajar saja kalau ada yang meleset. Yang terpenting tingkat kemelesetan itu masih dalam batas toleransi atau tidak. Dalam kacamata saya, penilaian murni para juri ASPAC tersebut tingkat kemelesetannya hanya sekitar 10%, wajar dan masih dalam batas toleransi. Dalam pengamatan saya, ada 2 hal pokok yang menjadi perhatian para juri dalam memilih bonsai yang mereka unggulkan. Pertama adalah keunikan bonsai dan yang kedua adalah keindahan bonsai itu sendiri. Keindahan bonsai itu terbentuk dari 3 faktor (meminjam istilah yang sering dikemukakan mas Wahyudi D. Soetomo, salah satu tokoh bonsai Indonesia dari Jatim) yaitu : Asimetris, kedalaman, dan optical balance.

Yang mengejutkan saya, kematangan training tidak terlalu menjadi pertimbangan para juri, terbukti ada beberapa bonsai yang terpilih, trainingnya masih belum matang.

Dari hasil penilaian para juri luar tersebut, saya berkesimpulan bahwa mereka sangat mengapresiasi imajinasi, kreativitas, inovasi, dan improvisasi dari sang artis atau si seniman atau trainer bonsainya. Ya, jika bonsai ingin diakui sebagai karya seni memang 4 hal itulah yang seharusnya diapresiasi. Hasil penilaian murni para juri ASPAC Bali seyogyanya dijadikan bahan kajian bagi para juri bonsai Indonesia.

Pameran-pameran nasional bonsai yang selama ini berlangsung, hasil penilaian para juri kebanyakan tidak memuaskan para penggemar bonsai, akibatnya para pengemar bonsai menyalahkan para jurinya. Saya tidak terlalu sepakat dengan sikap itu, karena pada dasarnya para juri sudah berusaha menerapkan segala hal yang mereka dapatkan dalam penataran juri. Yang harus lebih dipertanyakan sebenarnya adalah apa saja yang diberikan pada penataran juri tersebut dan siapa penatarnya. Adalah tidak tepat jika penataran yang diadakan topiknya bagaimana cara menilai bonsai yang baik, ternyata yang ditugaskan untuk menatar adalah orang yang tidak pernah bikin bonsai atau kalau toh dia pernah bikin bonsai, karyanya belum pernah diakui komunitas bonsai,….. tetapi sebagai pedagang bonsai,……. Nah lho!?. Ya, kalau penatarannya soal bagaimana cara berdagang bonsai yang baik, memang dia tepat sebagai penatar, tapi kalau menatar orang yang nanti diharapkan bisa jadi juri bonsai, ya nggak pas. The right man on the right place, prinsip ini harus mulai jadi perhatian komunitas bonsai Indonesia. Setelah ada perubahan hasil ASPAC Bali, malamnya saya ketemu dengan oknum panitia yang menyatakan perubahan hasil itu atas kehendak para juri sendiri. Saya sempat melakukan diskusi dengan yang bersangkutan soal Runner Up The Best Bonsai In Show yang hendak didiskualifikasi oleh panitia (tapi oknum yang bersangkutan menyatakan juri yang mendiskualifikasi). Saya mengajukan pertanyaan mengapa bonsai tersebut didiskualifikasi, oknum tersebut menyatakan bahwa belakangan diketahui bonsai tersebut ada sambungannya. Saya pertanyakan kembali apa ada aturan yang menyatakan sambungan dilarang. Dia menjawab sudah lama aturan itu berlaku, saya lanjutkan kalau memang ada aturan seperti itu berarti hampir seluruh bonsai jenis tanaman kimeng produk Taiwan harusnya juga selalu didiskualifikasi. Karena mayoritas bonsai kimeng produk Taiwan, pokok pohonnya adalah sambungan dari bebeapa pohon hidup. Dia katakan, dari dulu aturannya kalau sambungan hidup dengan hidup itu boleh, kalau mati dengan mati itu nggak boleh. Saya tanya, siapa yang membuat aturan itu, dimana aturan itu bisa saya baca? Yang bersangkutan tidak bisa menjawab.

Sesungguhnya dari bonsai yang dapat bendera di ASPAC, bukan hanya yang dapat runner up The Best Bonsai in Show itu saja yang ada sambungan bagian mati denga kayu mati. Masih ada santigi lain yang juga kasusnya sama, tapi panitia tidak mempersoalkannya, aneh bukan?

Dari diskusi kecil yang disaksikan beberapa orang itu, saya berkesimpulan oknum panitia ini ingin memaksakan kehendaknya untuk ambisi yang lebih bersifat pribadi. Yang bersangkutan terlihat tidak memahami masalah seni yang membuka ruang selebar-lebarnya untuk masalah inovasi & kreativitas, sungguh kasihan. Ironisnya yang bersangkutan sering dijadikan ketua dewan juri dalam pameran-pameran nasional. Tidaklah mengherankan jika hasil penjurian dalam pameran nasional selama ini seringkali tidak memuaskan penggemar bonsai tanah air. Bahkan sekarang sudah terbentuk persepsi umum, bonsai yang menang pada pameran nasional itu tergantung pada 1 hal, siapa pemiliknya. Jangan biarkan persepsi ini semakin berkembang, jika dibiarkan hal itu akan mengancam eksistensi seni bonsai Indonesia.

Ketika membaca buku panduan ASPAC Bali dan membaca deskripsi para demonstrator luar negeri, semua penggemar bonsai Indonesia pasti tergiur menonton aksi demonstrator-demonstrator ini memperlihatkan teknik-tekniknya membuat bonsai, apalagi demonstrator-demonstrator luar negeri ini juga bertindak sebagai juri di ASPAC Bali. Dari beberapa demonstrator luar negeri yang saya lihat, Qingquan Zhou dari China paling menarik perhatian saya. Zhao tidak mendemonstrasikan pembuatan bonsai dalam pengertian umum. Dia mendemonstrasikan pembuatan seni penjing. Lima pohon ukuran mamme dan small dia susun membentuk panorama alam. Hasil demonya cukup memanjakan mata kepala dan mata batin kita. Demonstrasinya memberikan inspirasi buat saya, bahwa bahan-bahan tanaman yang kurang layak untuk bonsai masih bisa disulap menjadi mahakarya dalam bentuk seni penjing yang sangat indah yang bisa menyirami rasa dahaga batiniah kita sehingga kegersangan jiwa kita bisa sedikit terobati. Seni penjing memberikan ruang yang seluas-luasnya (atau selebar-lebarnya?) bagi imajinasi, kreativitas, inovasi, dan improvisasi kita. 4 hal yang sangat kental dikenal dalam dunia seni apapun, mestinya termasuk juga bonsai. Demonstrasi kedua yang menarik perhatian saya adalah Min Hsuan Lo dari Taiwan. Bukan pada penggarapan bonsai di ASPAC yang menarik perhatian saya. Penjelasan dia lewat slide-slide pada saat dia demo itu yang saya cermati. Dalam slide itu dia tunjukkan ada pohon kimeng (di alam) yang tumbuh di suatu lapangan di Taiwan sana. Dia kemudian menunjukkan pada slide lain upaya dia membuat bonsai yang pohonnya adalah pohon kimeng raksasa tadi. Dia gabung-gabungkan beberapa pohon kimeng kecil-kecil sehingga menyatu. Jadinya adalah pohon bonsai yang persis seperti pohon raksasa yang dia jadikan model itu. Upaya yang luar biasa. Demonstrator ketiga yang menarik perhatian saya adalah Zheng Cheng Gong dari Taiwan. Peralatan yang dia pakai untuk membentuk keringan dari pohon santigi sungguh mengagumkan. Dia memakai alat potong yang pisaunya berupa piringan berbentuk bulat yang digerakkan dengan udara. Untuk menggerakkan alat itu dia butuh sebuah kompresor. Baru kali ini saya tahu ada alat seperti itu (saya memang ndeso…katrok). Dari demonstrator Jepang, Nakajima, yang dalam buku panduan ASPAC disebut sebagai instruktur dari Nippon Bonsai Association, tidak ada hal apapun yang bisa saya petik. Dia melakukan demo membuat bonsai dari jenis pohon cemara ukuran small, dengan bentuk sangat sederhana. Hasil demonya dalam bentuk bonsai juga sangat sederhana, cuma menjadi lebih rapi. Tidak terlihat nilai tambah mencolok karena sentuhan ketrampilan seni dari sang demonstrator.

Dari sekian banyak demonstrator luar negeri, kelihatannya panitia menempatkan William Valavanis pada tempat yang paling terhormat, karena dia adalah demonstrator yang ditampilkan pertama kali di ruang utama (Agung Room) tepat setelah presentasi yang dilakukan oleh Chairman World Bonsai Friendship Federation, Solita D. Tafur Rosade (mestinya Chairwomna dong, Solita kan perempuan)

Gambaran sekilas tentang sosok Valavanis yang ditulis di buku panduan ASPAC Bali “…..lebih dari 10 kali berkunjung ke Jepang untuk bekerja magang secara resmi pada Kyuzo Murata dan Kakutaro Komuro di Omiya Bonsai Village. Studi selama 30 tahun, bekerjasama dengan Yuji Yoshimura, ijazah Hortikultura diraihnya membuat dia benar-benar pakar dalam mempromosikan dan mengajarkan seni bonsai klasik ke seluruh dunia. Pemilik The International Bonsai Arboretum di Lechester, New York ini juga menerbitkan majalah internasional BONSAI sejak 28 tahun yang lalu……” pasti menggiurkan banyak penggemar bonsai untuk menyaksikan Valavanis melakukan demonstrasi pembuatan bonsai. Tetapi, saya sejak berangkat dari Surabaya, tidak pernah berniat nonton demonya si Bill (Valavanis) ini, Karena ketika saya melihat foto 2 bonsai koleksinya (Honeysuckle dan Trident Maple) yang ditampilkan dalam sebuah majalah terbitan Indonesia, saya berkesimpulan kemampuan si Bill adalam membuat bonsai pasti tidak sepadan dengan promosi tentang dia yang dimuat di berbagai majalah maupun buku panduan ASPAC itu sendiri. Makanya saya memutuskan untuk sampai di Bali baru pada tanggal 2 September sore, sementara pada saat perjalanan saya menuju Bali itulah, Bill melakukan demo bonsai di ASPAC. Pada akhirnya, saya bersyukur tidak nonton demonya, karena sesampai di Bali (belum sampai tempat pameran) saya sudah dapat SMS dari teman yang nonton demonya si Bill, bahwa dia kecewa nonton demo itu karena 2 hal, pertama, Bill tidak menunjukkan kemampuan seperti yang dia harapkan sebelumnya. Yang kedua, sebagai orang Indonesia dia merasa terhina melihat ada penggemar bonsai Indonesia (dalam buku panduan ASPAC, penggemar ini juga dinyatakan sebagai salah satu demonstrator dari Indonesia) yang dijadikan asisten pada saat Valavanis demo, diperlakukan secara tidak layak oleh Valavanis dan……di depan mata seluruh penonton yang memenuhi Agung Room, tempat demo itu berlangsung. Kesan yang mengirim SMS tadi, Valavanis itu orangnya sangat kasar. Pada saat Valavanis melakukan demo di Agung Room, ada tim Indonesia yang melakukan demo pembuatan bonsai di Joget Kecak Room (lantai 2). Jelas yang nonton demo tim Indonesia pasti sedikit karena dalam buku panduan demonstrator Indonesia tersebut hanya dimuat foto, nama, dan asalnya, tanpa deskripsi atau latar belakang mereka. Padahal jika Valavanis ketika demo itu disatu panggungkan dengan Agus Sunarko (demonstrator dari Batu, Malang) dalam waktu bersamaan, saya yakin, hanya 5 menit pertama saja Valavanis akan mendapatkan perhatian dari penonton, berikutnya perhatian itu akan beralih ke Agus Sunarko. Agus Sunarko ini kalau diminta membuat bonsai, terutama jenis tanaman cemara, wah..wah, seperti terjadi komunikasi antara dia dengan tanaman yang dia kerjakan. Maklum jam terbang Agus Sunarko amat panjang, sudah ratusan (mungkin malah sudah melewati angka seribu) bonsai dia kerjakan, terutama bonsai jenis tanaman cemara atau uiniperus.

Valavanis memang sudah secara formal belajar dengan Kyuzo Murata dan Kakutaro Komuro di Omiya Bonsai Village, Jepang. Tapi menurut saya, Valavanis masih perlu belajar dari Agus Sunarko jika ingin membuat bonsai lebih indah. Saya tidak bercanda, ini sangat serius. Menurut saya hanya satu hal kekalahan Agus dari Valavanis,….. kalah promosi.

Jika komunitas bonsai negeri ini mau mempromosikan Agus lebih dari mempromosikan Valavanis, Nakajima, Mich Sherman dan yang lain, saya yakin Agus adalah salah satu maskot dan master bonsai Indonesia dan Internasional.

Melihat demo Mich Sherman, ya saya nggak punya kesan apa-apa. Apalgi terlihat dari dia belum pernah membuat bonsai santigi, pohon yang justru dia jadikan bahan untuk demo. Dalam demo itu dia sempat terlihat terkejut dan kemudian berkomentar….. Keras sekali ya kayu pohon santigi ini (tentunya dalam bahasa Inggris).

Tanggal 2 September, Maghrib, waktu saya berada di arena pameran, nampak seorang anak laki-laki muda wajah Amerika Latin. Jika jalan mukanya selalu diangkat ke atas, kesannya sombong. Saya bertanya kepada salah satu penggemar bonsai, siapa nama pemilik wajah Amerika Latin itu. Teman penggemar bonsai ini ternyata sebelumnya sudah mendapat kartu nama bule latin itu. Jadinya dia tunjukkan kartu nama bule latin itu ke saya. Tertulis nama Jose Luis Rodriguez Macias dan dalam kartu nama itu terdapat juga foto bonsai (jelas bonsai karya Jose sendiri). Sambil menunjukkan kartu nama Jose itu ke saya, teman tadi juga bilang bahwa Jose itu salah satu juri dan besok (tanggal 3 September) akan melakukan demo bonsai.

Melihat gambar bonsai di kartu nama Jose itu, saya terkejut. Rasanya belum pernah melihat bonsai karya orang Indonesia yang sejelek bonsai yang ada di foto kartu nama Jose, bule dari Puerto Rico ini. Anehnya kok bisa jadi juri? Apa pertimbangan panitia memilih dia jadi juri? Ini membuat saya penasaran. Jadi saya niat betul untuk melihat dia demo.

Dalam daftar acara, Zheng Chenggong & Jose Luis Rodriguez akan demo pada tanggal 3 September, jam 9-12, hanya ruangannya berbeda, Zheng di Agung Room dan Jose di Legong Pendet Room (lantai 2) INNA GRAND BALI BEACH HOTEL, SANUR. Ternyata hari itu mereka demo di panggung yang sama di Agung Room. Jose dan asistennya mendemokan pembuatan bonsai cemara udang sedangkan Zheng Chenggong dan timnya mendemokan pembuatan bonsai santigi. 3 jam melihat demo itu, saya kasihan dengan Jose. Keringatnya bercucuran terus, bukan karena suhu ruangan yang panas, tetapi dia terlihat gugup karena berusaha menutupi ketidakmampuannya membuat bonsai. Ketika dia memotong beberapa cabang yang tidak dia pakai, masih terlihat dia berhasil menyembunyikan ketidakmampuannya. Begitu dia harus mengkawati dan menekuk cabang yang dia pakai, barulah keringatnya deras mengalir. Yang parah, ditengah demo dia menyatakan ada cabang yang dia pertahankan untuk dia pakai, ternyata itu cabang mati, sebelumnya dia tidak tahu kalau itu cabang mati. Wow…. Kalau trainer Indonesia sampai melakukan kesalahan sefatal itu, bisa-bisa digebukin sama pemilik bonsai yang dia garap. Tapi membaca deskripsi Jose ini di buku panduan ASPAC yang diedarkan oleh panitia membuat orang berpersepsi akan menonton pendemo bonsai yang luar biasa. Kita cuplik sebagian deskripsi itu “……Jose lahir 1 April 1975, sudah lebih dari 20 tahun ia memutuskan untuk berkomitmen seumur hidup menciptakan dan merawat bonsainya. Sebagai artis sangat berbakat, selain member kuliah dan demonstrasi di negaranya dia juga telah menerima undangan untuk melakukan demonstrasi di Republik Dominika dan di Tropical Garden di Miami, Florida. Dia benar-benar seorang bintang yang rendah hati dari masyarakat bonsai Amerika Latin….” Ya, begitu pandainya orang kita mempromosikan bangsa lain, bombastis banget.

Kesan saya, Jose hanyalah pebonsai pemula, lebih baik dia ambil spesialisasi merawat bonsai. Melihat deskripsi tentang dia tadi, dengan modal begitu lama berkecimpung di bidang bonsai, tapi ketika demo hanya seperti itu, jelas memperlihatkan Jose tidak memiliki talenta yang cukup untuk menjadi seniman bonsai.

Ya, demo bonsai di ASPAC lebih menitikberatkan pada kepopuleran atau dipopulerkannya beberapa orang seolah-olah sebagai seniman bonsai, bukan menitikberatkan pada keberbakatan seseorang sebagai seniman bonsai (beneran).

Lepas dari berbagai kekurangan yang terjadi di ASPAC Bali, secara jujur dan tulus saya harus menyatakan salut kepada panitia penyelenggara yang bisa mewujudkan even yang sebesar itu dalam situasi seperti sekarang. Dapat dipastikan, begitu banyak perasan pikiran dan keringat dari seluruh insan yang tergabung dalam kepanitiaan ASPAC sehingga acara bisa berjalan dengan semarak. Selamat ya…….

Wednesday, May 10, 2006

Bagaimana Awalnya?

Dalam sebuah acara diskusi tentang bonsai yang dihadiri kurang lebih 80 orang peserta, saya ditanya tentang sejarah bonsai. Saya sebenarnya agak enggan menjawab pertanyaan itu, karena sudah ada beberapa buku bonsai yang menulis tentang sejarah bonsai. Tetapi tiba-tiba ada ide terlintas untuk membahas sejarah bonsai dari sisi yang lain. Saya kemudian memberikan pernyataan, jika yang dimaksud tentang sejarah bonsai itu adalah mulai tahun berapa budaya bonsai itu muncul, orang dari negara mana yang pertama kali membuat bonsai, dan lain-lain yang berhubungan dengan sejarah bonsai seperti persepsi kebanyakan orang, silahkan Anda baca sendiri di beberapa buku yang sudah membahas tentang hal itu.

Pertanyaan itu menjadi penting buat saya bahas, jika para peserta diskusi tertarik untuk membahasnya dari sisi yang lain, yang belum dibahas dalam buku-buku manapun yaitu kira-kira bonsai bagaimana yang dibuat oleh orang yang pertama kali membuat bonsai tersebut. Bonsai bukanlah sekedar miniatur pohon di alam. Buat apa kita membuat miniatur dari gaya pohon-pohon yang sehari-hari nampak di sekitar kita. Justru saya punya keyakinan bahwa orang yang pertama kali membuat bonsai, justru tertarik membuat miniatur pohon dari sebuah pohon yang gayanya tidak terlihat pada pohon-pohon yang tumbuh di sekitar tempat ia tinggal.

Mungkin, suatu saat dia berpergian jauh dari tempat tinggalnya dan menemukan ada pohon yang bentuk dan gayanya sangat unik, aneh, artistik sekaligus mengandung nilai estetika yang sangat mengagumkan dari sudut pandangnya. Karena gaya yang sangat unik tersebut, muncullah hasrat dan keinginan agar pohon dengan gaya unik tersebut bisa berada di sekitar tempat tinggalnya. Karena tidak mungkin memindahkan pohon itu, muncullah gagasan untuk membuat pohon dengan gaya unik tersebut dengan model miniatur. Sejak saat itulah muncul budaya bonsai.

Berpikir mendalam sangatlah penting dalam berkegiatan seni dan dalam meningkatkan kualitas SDM. Melihat sesuatu dari sisi lain adalah bagian dari berpikir mendalam. Berpikir mendalam adalah petualangan imajiner yang mempercepat peningkatan kemampuan kita dalam hal inovasi, kreasi dan imajinasi. Kemajuan di bidang apapun juga selalu dihasilkan dari ketiga proses tersebut.

Thursday, May 04, 2006

Banggalah Dengan Kekayaaan Flora Kita

Beberapa tahun terakhir ini, di kantor-kantor pemerintah di berbagai kota di Jawa, saya lihat ada pemandangan baru. Di halaman kantor-kantor itu ditanaman pohon-pohonan kelapa dari plastik yang ada lampunya. Kalau malam lampu pohon itu dinyalakan, indah memang. Tetapi keindahan itu membuat saya gundah. Pohon plastik? Ya, itulah yang membuat saya tidak habis pikir. Indonesia ini dikenal punya kekayaan flora nomor dua di dunia, sesudah Brazil., tapi di beberapa kantor pemerintahan ditanami pohon plastik. Di mana rasa wujud syukur kita atas karunia yang diberikan-Nya kepada negara ini? Seyogyanya kita bersyukur dan membanggakan karunia itu.

Sudah lama masyarakat Indonesia mengenal seni bonsai. Meskupun belum ada bukti konkrit (baru perkiraan) konon seni ini berasal dari China. Orang awam banyak yang mengira seni ini berasal dari Jepang karena Jepanglah yang mempopulerkan seni ini ke dunia internasional. Sampai saat ini masih banyak penggemar bonsai di Indonesia yang menjadikan China atau Jepang atau Taiwan sebagai kiblat perkembangan bonsai.

Ini adalah fakta:
  1. Kekayaan flora Indonesia nomor dua di dunia.
  2. Indonesia negara dua musim. Pertumbuhan pohon di daerah musim rata-rata jauh lebih cepat daripada pertumbuhan pohon di daerah empat musim.
  3. Indonesia memiliki berpuluh-puluh suku yang menghasilkan budaya dan seni yang luar biasa beragam. Ragam budaya dan seni yang ada di Indonesia ini bisa kita jadikan pemantik inspirasi kita dalam mengembangkan seni bonsai di negara tercinta ini.
Berpijak pada beberapa fakta di atas, seharusnya Indonesia mampu menjadi barometer/kiblat perkembangan seni bonsai bagi bangsa lain, bukan malah sebaliknya. Tinggal satu yang kita butuhkan, kemauan kita untuk mewujudkan negara ini menjadi barometer/kiblat bagi negara lain. Kemauan menghasilkan kemampuan, tidak mungkin sebaliknya.